SAMARINDA.nusantaranews.info – Setiap anak memiliki harapan untuk membanggakan orang tuanya, begitu juga dengan Nunung, seorang jurnalis dan Direktur PT Yumna Media Nusantara. Ia tengah menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda dan hanya memiliki satu keinginan, bisa diwisuda dengan ayahnya duduk di barisan tamu undangan, menyaksikan momen bersejarah itu. Namun, takdir berkata lain. Sebelum hari itu tiba, Nunung harus kehilangan sosok yang paling dicintainya.
Sejak kecil, Nunung telah terbiasa hidup mandiri. Ia terpisah dari orang tuanya dan harus berjuang sendiri untuk bertahan. Kehidupan yang keras membentuknya menjadi pribadi yang kuat dan penuh semangat. Meski demikian, hubungan emosionalnya dengan sang ayah tetap terjalin erat, meskipun mereka hidup di dua pulau yang berbeda.
Sejak tahun 2006, Nunung menetap di Pulau Kalimantan, sementara ayahnya berada di Pulau Sumatera. Jarak yang jauh tidak menghalangi komunikasi mereka. Ayahnya tidak pernah absen meneleponnya, memastikan kabarnya setiap hari, memberikan nasihat, dan selalu mendukung setiap langkah hidupnya. Telepon menjadi jembatan kasih sayang di antara mereka, yang terus bertahan hingga detik-detik terakhir sebelum sang ayah menghembuskan napas terakhir pada tahun 2023 lalu.
Namun, kebersamaan mereka harus terhenti lebih cepat dari yang diharapkan. Ayah Nunung didiagnosis menderita kanker, sebuah penyakit yang perlahan menggerogoti kesehatannya. Saat mengetahui kondisi sang ayah semakin menurun, Nunung bergegas pulang dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Perjuangan Nunung untuk menemani ayahnya tidaklah mudah. Rumah sakit tempat ayahnya dirawat berjarak enam jam perjalanan dari rumahnya. Namun, jarak sejauh itu tak menjadi halangan. Ia bolak-balik dari rumah ke rumah sakit, memastikan sang ayah mendapatkan perawatan terbaik, menyuapinya, menemaninya berbicara, dan mencoba membuatnya tetap semangat. Setiap detik yang mereka habiskan bersama menjadi momen berharga bagi Nunung.
“Ayah selalu percaya padaku, bahkan saat aku sendiri merasa ragu. Beliau selalu bilang aku bisa, dia selalu mendukung langkahku. Cita-citaku sederhana, aku hanya ingin diwisuda dan melihatnya tersenyum bangga di sana, tetapi aku tidak sempat mewujudkannya,” ungkap Nunung dengan raut wajah yang sangat sedih.
Kepergian sang ayah membawa luka yang mendalam. Setiap malam sebelum tidur, Nunung tak bisa menahan air mata. Ia kerap mengenang momen kebersamaan mereka, canda tawa yang kini tinggal kenangan, dan suara lembut ayahnya yang selalu menenangkan.
Meskipun hatinya masih diselimuti kesedihan, Nunung berusaha untuk tetap kuat. Ia percaya bahwa meskipun sang ayah tidak lagi hadir secara fisik, semangatnya akan selalu ada dalam setiap langkahnya. Nunung ingin menyelesaikan studinya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga sebagai penghormatan terakhir kepada sosok yang selalu menjadi inspirasinya.
“Aku tahu beliau pasti melihat dari atas sana. Aku ingin membanggakannya, menyelesaikan pendidikan ini, dan menjalani hidup dengan nilai-nilai yang telah beliau ajarkan kepadaku meskipun tidak mudah tanpa beliau,” terangnya.
Meskipun motivasinya sempat menurun, Nunung terus melanjutkan perjuangannya dengan tekad kuat. Walaupun impian untuk berbagi momen wisuda bersama sang ayah tak terwujud, ia berharap perjuangannya kelak dapat memberikan manfaat bagi orang-orang yang dicintainya serta menebarkan kebaikan.