SAMARINDA.nusantaranews.info –Kasus penggunaan surat palsu oleh terpidana RS terbukti bersalah sesuai putusan Majelis Hakim Nomor 169/Pid.B/2025/PN.Smr, dengan vonis 1 tahun 6 bulan penjara.
Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur melalui putusan banding Nomor 212/PID/2025/PT.SMR. Perkara terus bergulir ke tingkat hukum lebih tinggi, dan saat ini resmi diajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI. Selain itu, pihak kuasa hukum juga mengajukan gugatan perlawanan atas penundaan amaning dengan nomor perkara 143/Pdt.Bth/2025/PN Smr.
Gugatan ini terkait dengan putusan perkara perdata Nomor 131/Pdt.G/PN.Smr, tertanggal 25 Juni 2024, dan putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 6355/Pdt/2024, tertanggal 16 Desember 2024, yang dinilai penuh kejanggalan.
Atas dasar tersebut, Tim Kuasa Hukum Heryono Atmaja resmi mengajukan PK ke Mahkamah Agung RI serta ajukan perlawanan terhadap amaning lahan di Jalan PM Noor. Gugatan perlawanan tersebut teregistrasi dengan Nomor 143/Pdt.Bth/2025/PN.Smr dan kini menanti sidang perdana yang dijadwalkan pada Rabu 23 Juli 2025.
Surat Segel Palsu Kalahkan Sertifikat Sah?
Kasus ini berawal dari penggunaan dokumen berupa surat segel tertanggal 8 Juli 1981 oleh RS, yang dijadikan dasar penerbitan SPPT tahun 2014 dan untuk memperkuat klaim atas tanah yang disengketakan. Namun dalam proses pidana, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda menyatakan bahwa dokumen tersebut adalah palsu.
Dalam putusan Nomor 169/Pid.B/2025/PN.Smr, terdakwa Rahol Sutiyaman bin Gumrih dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana penjara 1 tahun 6 bulan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur melalui putusan Nomor 212/PID/2025/PT.SMR.
Sujanlie Totong, S.H., M.H., salah satu kuasa hukum Heryono Atmaja, menyatakan bahwa kliennya telah menguasai tanah tersebut secara sah sejak tahun 1996.
“Klien kami menguasai tanah itu sejak tahun ’96-an, yang dibeli dari Zuriati yang sudah bersertifikat (SHM). Sejak saat itu, tanah tersebut dikelola dan disewakan,” ungkap Sujanlie.
Namun, lanjutnya, pihak penggugat dalam perkara perdata hanya bermodalkan surat segel tahun 1981. Dokumen itu menjadi dasar terbitnya SPPT, lalu dilakukan jual beli kepada seseorang bernama NS.
“Nah, ini diuji di laboratorium kepolisian. Ternyata cap tanda tangan RT dan Camat adalah stempel, bukan tanda tangan basah. Tapi ironisnya, saat di perdata kami kalah karena dianggap tidak menunjukkan warkah, padahal klien kami adalah pembeli tangan ketiga. Sedangkan warkah aslinya ada di BPN,” jelasnya.
Sujanlie juga menunjukkan bukti overlap lahan berdasarkan peta situasi resmi dari BPN.
“Ini ada peta situasi dari BPN milik Hartono yang digunakan sebagai bukti oleh lawan di Pengadilan Negeri Samarinda, tapi dicantumkan atas nama Hartono. Padahal Hartono tidak memiliki tanah di lokasi tersebut. Ini janggal. Yang kami lawan justru dasar suratnya menggunakan dokumen bermasalah,” lanjutnya.
Abraham Ingan: “Ini Jelas Mafia Tanah”
Kuasa hukum utama, Abraham Ingan, S.H., menegaskan bahwa pihaknya saat ini menempuh tiga langkah hukum: ajukan perlawanan eksekusi, pengajuan PK ke Mahkamah Agung atas putusan kasasi, serta mendukung proses pidana terhadap pelaku pemalsuan dokumen.
“Putusan pidana sudah membuktikan bahwa dokumen yang mereka pakai untuk mengklaim tanah klien kami adalah palsu. Eksekusi yang sedang diajukan di PN Samarinda pun kami harap bisa ditunda. Itu sebabnya kami ajukan perlawanan terhadap aanmaning mereka,” tegas Abraham.
Ia juga menilai bahwa terdapat kehilafan hakim dalam putusan perdata, baik di tingkat PN maupun Kasasi Mahkamah Agung.
“Kami ingin tegaskan bahwa yang kami lawan ini adalah praktik mafia tanah. Kami mendukung langkah pengadilan memberantas mafia tanah di Kaltim. Surat palsu sudah terbukti di jalur pidana, dan kami luruskan lewat PK,” tegasnya.
Tiga Sertifikat Tidak Digugat, Eksekusi Tidak Sah
Sujanlie menambahkan bahwa lahan yang disengketakan sebenarnya beririsan dengan tiga sertifikat SHM sah, yakni milik Sarindo, Ibu Erni, dan Heryono Atmaja.
“Dalam satu peta ini ada tiga SHM yang sah dan tidak tumpang tindih. Tapi dalam gugatan perdata, yang digugat hanya hamparan, bukan masing-masing pemilik. Itu kurang pihak, dan seharusnya tidak bisa dimenangkan,” jelasnya.
Menurut tim hukum, eksekusi seharusnya tidak dapat dilanjutkan karena objek yang disengketakan menyangkut banyak pihak yang tidak semuanya dilibatkan dalam gugatan.
Hendy Sutanto: “Kami Sudah Tempuh Semua Jalur Hukum”
Hendy Sutanto, S.H., yang juga bagian dari tim hukum Heryono, menegaskan bahwa langkah hukum mereka sudah sistematis dan prosedural.
“Setelah kalah di kasasi, kami tempuh PK. Kami ajukan gugatan perlawanan terhadap eksekusi, dan kami dukung jalur pidana terhadap RS yang telah terbukti bersalah menggunakan surat palsu berdasarkan putusan No.169/Pid.B/2025/PN.Smr dan dikuatkan oleh Putusan PT Kaltim No. 212/PID/2025/PT.SMR. NS juga sedang diproses di kepolisian. Kini kami menunggu apakah pihak lawan akan ajukan kasasi atas putusan pidana atau tidak,” ujar Hendy.
Menurutnya, eksekusi tidak dapat dilakukan terhadap tanah yang tidak termasuk dalam gugatan atau yang tidak dibuktikan sah dalam proses perdata.
“Tanah klien kami termasuk dari tiga sertifikat yang sah. Dalam eksekusi, tidak bisa semuanya disapu rata begitu saja. Maka kami lakukan perlawanan karena tanah Bu Erni tidak termasuk yang dimenangkan dalam putusan,” katanya.
Optimisme Terhadap Mahkamah Agung RI
Abraham, S.H. menutup pernyataannya dengan menyampaikan apresiasi kepada Pengadilan Negeri Samarinda dan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur yang telah memutus perkara pidana terhadap pelaku pemalsuan surat secara objektif dan profesional.
“Kami tetap percaya kepada Mahkamah Agung RI akan menilai fakta ini secara objektif dan adil,” tutup Abraham, S.H. penuh harapan.
Tim kuasa hukum berharap upaya hukum ini tidak hanya mengembalikan hak klien mereka, tetapi juga menjadi yurisprudensi penting dalam perlindungan hukum terhadap pemilik sertifikat sah, sekaligus menjadi peringatan bagi pelaku praktik mafia tanah di Indonesia.